Kamis, 06 Juli 2017

Andil Sang Yai

Part I "Firasat"

Perahkan kau berfikir bagaimana jika tiba- tiba smartphone yang sangat canggih sekalipun tak dapat digunakan?
Kala itu di waktu siang kami diperjalanan pulang tiba-tiba layar ponsel tergerak dengan sendirinya. Tak hanya punya ku punya linda pun begitu. Linda adalah sepupu pertama yang tak pernah absen untuk mengajak bareng kerumah bude. Nah terkaget kaget kami dengan kejadin tersebut. Seperti layaknya berada di film hacker. Tak hanya itu awanpun mendadak gelap seperti terjadi gerhana matahari total yang mendadak menjadi fajar disiang bolong. Sontak terheran heran. Apakah ini? Apa yang terjadi? Tak berselang lama. Ribuan lampion bening diterbangkan memenuhi langit dengan bertuliskan doa dari para budha.

Jelas mereka ini adalah sumbangan doa dari kami untuk kepercayaan kalian tentang ahir dunia ini yang akan datang sebentar lagi.

Hati tak henti berdebar dan ingin segera pulang. Tangan berkeringat serta muka memucat ingin segera menemui keluarga dirumah. Sesampai dirumah ayah langsung menyambut dan berkata "cepat berwudhu lah, ambil mukena dan menghadap" mungkin matahari akan lama bersembunyi. Lantunan doa dan tasbih tak putus dari lisan. Ingin rasanyanya menangis dan menahan malu karena begitu banyak kesalahan yang luput dari pengakuan. Ketakutan akan ketidakberdayaan, ketakutan rasa bersalah yang begitu besar ketakutan dari ketakutan untuk tak mendapatkan ampunan kembali.
Begitulah rasa itu merasuki dalam hati dan pikiran sehingga membuat hari itu terasa lebih gelap.

Jauh dari yang ditemui ketika itu. Menyamakan dengan lantunan tuntunan yang pernah terbaca. ''akan ada suatu ketika dimana hari itu akan gelap guliata layaknya malam yang berkepanjangan selama 3 hari berturut, dan setelahnya tak akan ada pengakuan apapun yang diterima dan akan sia sia.".

Tasbih, tahmid, sahadat dan istigfar. Akankah sia-sia?? Tak lama sekitar 3 jam ahirny muncul sang matahari di atas kepala dengan begitu besarnya. Bayangan hitam berseliweran kemana mana. Sajadah yang tadinya terbentang langsung kami lipat dan bersegera menutup rapat pintu belakang rumah. Semoga tak terjadi apapun. Firasat burut tak kunjung hilang. Sang bayangan itu berlarian ingin mendekati ayah yang sedang duduk diteras. Ayah saat itu sedang menemui tetangga yang sedang bertamu dengam seorang anak. Kami memanggil bapak setengah baya itu pakde surat. Kata pakde "gak papa saat itu pasti akan tiba" iya berkata dengan tenangnya. Aku kembali kebelakang ingin memastikan pintu telah tertutup atau belum. Sampai ruang tengah sekali lewat bayangan itu muncul kembali. Seperti sedang ada seorang yang mengintai sejak tadi. Jatung tak henti berdegup kencang dengan membawa firasat yang tak baik.... ingin rasa menoleh kebelakan dan tiba tiba mata ini terbuka lebar memandang dinding pukul 5:30 tepat. Ah hampir kesiangan subuh pagi ini....
Ini mimpi panjang yang memumculkan banyak pertanyaan. Apa ini? Siapa mereka? Dan akankan hari itu akan segera tiba? Yang tak terlewatlan lagi adalah sesosok pakde, beliau adalah almarhum guru belajar agama kami diwaktu kecil. mengapa beliai tersenyum dan menyampaikan pesan ini dengan tak sengaja???

Kita kembalikan kepada sang pencipta. Mungin ini adalah salah satu bentuk perhatiNya untuk kita.

Kamis, 20 April 2017

Tangis atau Tragis

Kenapa harus berlarut larut.
Kenapa harus menunggu
Kenapa harus diam saja
Kenapa harus tak mengerti
Kenapa harus selalau minta untuk dimengerti
Kenapa harus begitu tidak punya hati
Kenapa harus terus saja seperti itu begitu tak peduli
Tak haruskah untuk haya sekedar menyapa?
Tak haruskah mencoba untuk berbicara?
Tak haruskah mencoba sekali saja untuk tidak meredam ucapan?
Tak haruskah kita untuk bicara?
Atau sudah tak ada lagi kata-katan yang patut disampailan?
Cukup untuk hanya berbicara dengan angan
Cukup untuk berbicara dengan perasaan
Cukup untuk berbicara sendiri dari kekhawatiran
Cukup untuk berbicara tanpa balasan
Tidak kah kau lelah
Tidak kah kau bosan
Tidak kah kau bisa mengerti
Ataukah memang begitu adanya???
Hanya sekali saja.
Bicaralah sebelum tangis itu mengering

Kamis, 23 Maret 2017

Mutiara Hitam

"sebuah kehormatan berada dinegara beragam. banyak suku banyak budaya banyak keragaman. ras bukan soal berbeda namun itulah nusantara yang disatukan dari berbagai keragaman. kelas bukan disandingkan dari kasta lagi, keindahan bukan didasarkan atas warna kulit lagi namun cermin dari jiwa dan karsa yang tulus untuk mengabdikan diri." -(Sang mutiara hitam dari timur)

Sebuah intisari kutipan yang saya dapatkan dari sebuah acara realityshow bersama sang mutiara hitam dari timur.

Miris melihat pemberitaan dimedia masa saat ini, keragaman seolah tak dapat disamakan lagi. Seolah meletakan diri diatas dipersimpangan sudut jalan untuk memilih lajur kanan ataulah kiri. Kehormatan dari keilmuan adalah untuk mengrti dan saling memahami. Bukan berprilaku frontal menunjukan inilah yang paling benar.
Ketika jihad dilandasi dengan kematangan berfikir dan bukan hanya teori, pasti setiap hal bisa teratasi. Entahlah apakah kelembutan telah menjadi suatu hal yang tabu dimasa ini?

Setiap manusia pasti ingin menemukan kebaikannya, menuntut hak dan merasa marah itu adalah kodrat. Keinginan untuk menang sendiri itulah yang penyakit. Dari sinilah untuk mulai berbenah.

Kali ini dasar hukum negeri ini seakan tak nampak lagi. Semakin tergerus dengan istilah one vote one choise. Bukan lagi "permusyawarahan dalam pengambilan kebijakan".
Jadi jangan salahkan hamba yang tak menjadi dipilih.

Bukan berarti sok nasionalis, bukan berarti sok kritis dan panling mengerti. Hanya saja sangat sulit sekarang untuk dapat mengabdikan diri. Apakah harus melalui jalur kolusi dan nepotisme walau hanya untuk menjadi abdi???

Entahlah semoga lekas sembuh wahai sang ibupertiwi. Menutup pilu, menjadi subur, kembali berjaya dan terus maju.